Terduga

Sabtu malam adalah waktu yang tepat untuk sekedar pergi tidur telat. Hari Minggu seharusnya bisa dihabiskan dengan hanya mangu-mangu. Malam itu, aku terlena. Hingga lupa kalau malam minggu juga akhirnya bertemu pagi seperti malam-malam lainnya. Ketika pagi akhirnya datang, aku menyesal! Harusnya aku tidur lebih lama! Inikan hari Minggu!

Kuseret tubuhku menuju ruangan rapat nan sempit disudut. Kubiarkan butiran-butiran air terhambur ke sekujur tubuhku. Nyaman. Tapi sayang tidak boleh lama-lama. Kupaksa kembali tubuhku yang sudah sedikit lebih segar kembali ke tempat aku terbaring semalam. Rasanya aku ingin kembali menjelajahi mimpi yang terlalu singkat. Tapi otakku memerintahkan lain kepada tubuhku.

Aku melirik penunjuk waktu yang kuletakkan di dinding. 09.45! Seharusnya aku sudah sedang duduk manis di dalam kendaraan yang akan membawaku memecah kemacetan Ibu Kota pagi itu. Terlambat! Ah! Aku mulai menggerutu.

Pagi itu, Minggu pagi, aku berjanji untuk mengunjungi sebuah museum di kawasan Kota Tua Jakarta bersama beberapa teman. Jam 10 pagi seharusnya aku sudah sampai di sana. Nyatanya aku masih harus menunggu di halte. Bus Transjakarta ke arah Kota tidak seperti biasanya sangat lama. Sudah setengah jam aku duduk di salah satu sudut halte sambil membolak-balik halaman novel misteri favoritku. Sesekali aku berdiri, melongok arah datangnya bus, tapi nihil, yang aku tunggu masih saja belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Aku kembali menggerutu dalam hati. Kesal.

Siang merangkak perlahan menggantikan pagi yang mulai enggan bertengger. Aku semakin kesal karena bus tak kunjung datang. Udara yang semakin panas membuat halte yang penuh sesak semakin pengap. Aku mulai tidak sabar. Akhirnya kuputuskan naik bus lain. Itu artinya aku harus berganti bus di halte lainnya.

Kesalahan pertama bepergian dengan transportasi umum di hari libur adalah, aku terlalu percaya diri bahwa transportasi umum pasti akan sepi. Faktanya, setiap hari libur Bus Transjakarta sama sibuknya seperti jam pulang kerja di hari awal pekan. Jadi, jangan berkspektasi terlalu tinggi. Karena indahnya ekspektasi seringkali mengelabui kelamnya realita.

Setelah berjam-jam merelakan tubuh terhimpit berbagai bentuk ibu-ibu, mbak-mbak, adik-adik, bahkan nenek, akhirnya bus berhenti di halte terakhir, Kota. Halte ini selalu memberikan sambutan meriah setiap kali aku menginjakkan kaki disini. Angin menghembuskan berbagai macam aroma, matahari terasa berada tepat di atas atap halte, membuatku menyesal karena bersusah payah mandi pagi tadi.

Aku tidak perlu lagi berhenti untuk sekedar menyeka keringat di tengah-tengah lautan manusia panggang itu. Penunjuk arah keluar samar-samar saja aku perhatikan. Kakiku tidak butuh melihat anak panah itu.

Tujuanku adalah gedung bergaya Belanda di sudut jalan. Gedung bercat putih itu nampak sangat menyilaukan dibawah hujan sinar matahari. Seorang lelaki paruh baya menyambut antrian pengunjung di pintu masuk. Kuperhatikan sesaat instruksi-instruksi singkat di depan pintu masuk. Mataku berlarian mengikuti barisan gambar dan kata di selembar poster yang ditempel di sana. Kemudian aku melirik lelaki itu lagi. Pakaian hitam-hitamnya membuatku sedikit nervous.

Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, kosong. Aku benci. Beberapa kata monoton berhamburan dari mulutnya. Formalitas. Suara parau nan tegasnya membuatku semakin kikuk berdiri di tempatku. Gerak tangannya cepat dan teliti. Dia pasti sudah terlatih selama bertahun-tahun melakukan rutinitas yang sama. Membosankan pasti.

Tersisa dua orang di depanku. Aku meraba tas ransel kesukaanku. Mataku kembali memperhatikan seperangkat alat pendeteksi disana. Keringatku semakin deras mengalir.

"Selamat siang, silakan letakkan tas di sebelah sini." Sapa lelaki itu ketika aku sampai di pintu masuk. Bukankah tidak ada pilihan lain? Aku senang sekali menggerutu akhir-akhir ini. Dengan enggan aku letakkan ransel yang kugendomg dari tadi di alat pemindai itu. Selama dua detik aku bisa bernafas sedikit lebih lega.
Karet di bagian bawah alat itu berputar sangat pelan membuatku semakin deg-degan. 

Ketika ranselku akhirnya mengakhiri perjalanan panjang di alat itu, aku mulai bisa bernafas seperti biasa. Segera kutarik dan kulempar kembali ke punggungku ketika lelaki berpakaian hitam itu memanggilku.
Aku bisa merasakan jantungku berlarian di rongganya.

"Mba, bawa pisau, ya?"
"Iya, Pak."
"Coba sini saya lihat"

Dengan setengah hati aku melangkah mendekat dan membiarkan dia memeriksa ranselku. Barang yang dia cari ada disana. Sebilah pisau perak terbungkus beberapa kertas dan plastik. Bajuku dibanjiri cucuran keringat.


___________________________








Komentar

  1. Aku suka gaya menukismu res... Serius.. Mengalir, sedikit terpotong-potong dan memberikan sekempatan yang baca bjat berspekulasi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe thanks man, bagiku nulis dengan gaya begini membuatku lebih berpikir harus jadi seperti apa nantinya tulisanku wkwk

      Hapus

Posting Komentar